Pada menu ini pengguna dapat menemukan contoh kajian pembelajaran sejarah dengan sudut pandang yang berbeda.


 

Best Practice 1

Konsep Desain Pembelajaran Sejarah Berbasis Socio-Edu -Eco-Tourism

Pembelajaran sejarah berperan penting dalam membangun karakter bangsa, yang merupakan suatu proses kegiatan mendorong dan merangsang belajar untuk mendapatkan pengetahuan dan menghayati  nilai-nilai kemanusiaan dan kesejarahan, sehingga mengubah tingkah laku dan menumbuhkan kesadaran sejarah (Permana, 2020). Oleh karena itu, pembelajaran sejarah dalam prosesnya perlu mengaitkan nilai yang berkembang dalam masyarakat sesuai dengan kebutuhan zaman, sehingga peserta didik dituntut untuk kreatif dan inovatif melalui kegitan berpikir kritis dan pemecahan masalah dengan komunikasi dan kolaborasi.

Melalui pembelajaran sejarah yang kontekstual diharapkan dapat meningkatkan keterampilan sosial peserta didik dalam rangka memecahkan masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang dihadapi masyarakat. Dari sinilah dapat dinyatakan bahwa lingkungan sosial merupakan sumber penting dalam belajar sejarah dan pengalaman yang didapatkan peserta didik dalam belajar sejarah akan memperkuat ingatan terhadap sejarah bangsanya (Subakti, 2010)  . Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk memberikan pengalaman peserta didik dalam belajar sejarah adalah dengan mendesain pembelajaran semenarik mungkin untuk menjadikan potensi peserta didik menjadi kompetensi. Salah satu model desain pembelajaran sejarah yang bisa digunakan oleh pendidik adalah berbasis socio-edu-eco-tourism. Desain pembelajaran sejarah  ini bisa melibatkan masyarakat sekitar dengan mengoptimalkan potensi lingkungan untuk wisata sehingga bisa menumbuhkan minat wirausaha dan mensejahterakan masyarakat.

Socio-edu-eco-tourism merupakan istilah yang baru dalam bidang pariwisata untuk memberikan inovasi dalam bidang pendidikan, pembangunan pariwisata berbasis lingkungan hidup merupakan sarana edukasi dan pendidikan karakter yang bisa ditanamkan dalam diri peserta didik. Adapun penjelasan konsep socio-edu-ecotourism meliputi: (1) Socio Tourism adalah kegiatan pariwisata yang memiliki hubungan timbal balik secara langsung tanpa adanya perantara, bersifat selektif, dengan tujuan memberikan dampak sosial langsung kepada masyarakat, (2) Edu Tourism yaitu kegiatan wisata yang memberikan pengalaman pembelajaran yang baru kepada wisatawan (Aisyah et al., 2019), dan (3) Eco Tourism yaitu kegitan wisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam (Sutisno & Afendi, 2018). Jadi bisa disimpulkan bahwa konsep desain pembelajaran sejarah socio-edu-eco-tourism yang penulis kembangkan adalah pembelajaran berbasis wisata terintegrasi yang menyediakan pola pembelajaran untuk menggali makna dan kearifan lokal di masyarakat yang dipadukan dengan wawasan lingkungan melalui aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal, serta aspek pembelajaran dan pendidikan untuk menumbuhkan kesadaran kewirausahaan.

Gambar 1. Konsep Socio-Edu-Techno-Eco-Tourism

Best Practice 2

Desain Pembelajaran Sejarah Berbasis Socio-Edu-Eco-Tourism untuk Menumbuhkan Kesadaran Kewirausahaan

Revolusi industri 4.0 dan pesatnya perkembangan teknologi abad 21 menuntut adanya perubahan dalam bidang pendidikan agar peserta didik mampu menghadapi masa depan dengan lebih baik. Hal ini karena pendidikan dibentuk oleh kebutuhan masyarakat (Sahin, 2009). Jika  saat ini teknologi dan informasi menjadi kunci dalam tatanan masyarakat baru, maka keterampilan baru muncul untuk memenuhi kebutuhan masyarakat baru, yang disebut keterampilan abad 21. Pada masa ini juga muncul tren pendidikan baru yaitu pembelajaran berbasis proyek yang penting untuk melatih kemampuan organizational, collaborative and time management skills which are useful in their future academic careers (Shahroom & Hussin, 2018). Berbagai perubahan tersebut harusnya direspon dengan cepat oleh kurikulum agar terjadi link and match antara proses pendidikan dan kebutuhan di lapangan termasuk oleh mata pelajaran sejarah.

Dalam konteks wilayah Kecamatan Dampit, pengembangan pembelajaran sejarah seharusnya disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan masyarakat yaitu pembelajaran sejarah berwawasan lingkungan.  Pembelajaran ini diharapkan mampu menanamkan nilai kepedulian dan pelestarian terhadap lingkungan serta untuk menciptakan inovasi dalam dunia pendidikan (Ahmad, 2013)(Sutisno & Afendi, 2018). Pengembangan desain ini dilakukan dengan pendekatan interdisipliner sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran sejarah sekaligus sebagai upaya mencegah kerusakan lingkungan dan memperbaiki kerusakan lingkungan akibat perilaku manusia. Desain ini disebut socio-edu-eco-tourism.

Berdasarkan observasi di kecamatan ini, ditemukan bahwa masih belum tergali seluruhnya potensi-potensi wisata yang ada di desa-desa Kecamatan Dampit untuk dikembangkan sebagai sarana media pembelajaran yang berkaitan dengan lingkungan dan masyarakat untuk menumbuhkan minat wirausaha. Seperti yang diungkapkan oleh Gatot Sudarmanto selaku Sekertaris Desa Pamotan Kecamatan Dampit yang menyatakan: “Selama ini potensi-potensi wisata yang ada di desa-desa masih belum banyak digali, belum ada pendampingan khusus dari pemerintah. Potensi itu hanya dikelola tokoh masyarakat dan pemuda sekitar, sehingga kurang dipromosikan untuk menjadi unggulan bahkan pembelajaran”.  Sehingga perlu adanya penerapan pembelajaran yang bisa menggali minat peserta didik untuk merumuskan solusi mengembangkan potensi yang ada di lingkungan sekitarnya, termasuk dalam pembelajaran sejarah.

Dari 11 desa dan 1 kelurahan di Kecamatan Dampit, yang memungkinkan untuk bisa diterapkan pembelajaran sejarah berbasis socio-edu-eco-tourism adalah wisata buatan Kampung Kebun Kopi, Salak, dan Pisang Mas di Desa Sukodono dan Kampung Ecowisata Agribisnis di Desa Amadanom. Hal ini karena terdapat aspek edukasi yang bisa digunakan dalam pembelajaran di sekolah, sehingga diharapkan dapat menggali makna dan kearifan lokal di masyarakat yang berwawasan lingkungan melalui aspek pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal, aspek pembelajaran dan pendidikan, dan aspek konservasi alam.

Di Kecamatan Dampit memili sarana pendidikan tingat SLTA Negeri/Swasta sejumlah empat yang berpusat di sekitar kelurahan Dampit, sedangkan jarak antar desa ke pusat pendidikan terutama yang bagian selatan (Simulyo, Batu Retno, dan Sukodono) sangat jauh dan kurang memadai, sehingga peneliti memperkirakan belum sampai pada rasio kelayakan untuk diterapkan secara utuh. Namun dengan adanya data yang diperoleh ini bisa dijadikan sebagai landasan pendukung dalam menerapkan konsep pembelajaran sejarah berbasis socio-edu-eco-tourism selanjutnya.

 Rencana penerapan konsep pembelajaran berbasis socio-edu-eco-tourism pada matapelajaran sejarah bisa dijadikan alat untuk meningkatkan minat siswa belajar sejarah dan peduli lingkungan, sehingga belajar sejarah tidak melulu membahas masa lalu yang tidak ada manfaat praktisnya. Konsep desain pembelajaran sejarah berbasis socio-edu-eco-tourism dimaksudkan dengan memanfaatkan lingkungan sebagai ruang belajar yang enjoyment di alam terbuka untuk menghasilkan karya/produk.

Desain pembelajaran ini diawali dengan analisis kebutuhan yang diharapkan mampu memunculkan gagasan yang inovatif dalam dunia pendidikan untuk mengoptimalkan peran lingkungan terhadap kesejahteraan masyarakat. Hal serupa dilakukan di Desa Ponggok Kecamatan Pulanharjo Klaten, dengan melakukan pembenahan umbul sebagai objek wisata dan mendirikan Badan Usaha Milik Desa bisa meningkatkan pendapatan asli daerah yang awalnya hanya 5 juta menjadi 6,5 miliyar pertahun (Zakiyah & Idrus, 2017). Sehingga, perlu adanya upaya dalam dunia pembelajaran untuk menumbuhkan minat wirausaha bagi peserta didik secara formal dalam bentuk kurikulum yang bisa diberikan di jenjang pendidikan menengah atas maupun perguruan tinggi.

Pembelajaran sejarah bisa didesain di dalam maupun di luar kelas dengan harapkan dapat memunculkan individu yang memiliki kemandirian dan ketekunan yang tinggi sesuai dengan misi lembagai pendidikan sebagai agen perubahan. Paradigma pembelajaran sejarah yang terbatas masalah ideologis perlu diubah menjadi praktis melalui enam keterampilann abad 21. Seperti analisa para ahli bahwa matapelajaran sejarah memiliki manfaat yang diantaranya: (1) mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari; (2) menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalamm memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup; (3) mengembangkan imajinasi dan sikap kratif, inovatif, dan partisipatif; (4) membantu mencarikan jalan keluar berbagai masalah sosial dan perorangan; (5) mengembangkan keterampilan yang berguna; (6) mendorong peserta didik berpikir kritis-analitis dalam memanfaatkan pengetahuan masa lampau untuk memahami kehidupan masa kini dan yang akan datang; serta (7) mengembangkan kemampuan intelektial dan keterampilan memahami proses perubahan dan keberlanjutan masyarakat(Ayundasari, 2017) .

Pendekatan pendidikan tradisioanal tidak akan dapat memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat baru dan mengenali karakteristik peserta didik di abad ke 21. Berdasarkan hal itu, maka perlu adanya modifikasi desain pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan perubahan seperti yang dituliskandalam penjelasan singkat berikut ini (Sahin, 2009).

  1. Analisis tujuan: Tentukan tujuan pembelajaran yang akan dicapai berdasarkan keterampilan abad 21.
  2. Definisikan peserta didik: Analisis karakteristik dari setiap peserta didik.
  3. Pengembangan strategi: Pilih strategi yang memaksa peserta didik untuk mengembangkan kemampuan belajar keterampilan abad 21.
  4. Penerapan: Fokuskan pada peserta didik dan pembelajarannya, bukan pada pengajaran dengan membuat berpusat pada peserta didik untuk berkolaboratif dan memanfaatkan teknologi di lingkungan belajar.
  5. Pemilihan media dan sumber belajar: Pilih media dan sumber belajar yang mutakhir untuk peserta didik dengan memastikan peserta didik untuk tetap aktif dan produktif.
  6. Evaluasi: gunakan e-portofolio dan biarkan peserta didik mengevaluasi diri mereka sendiri dan satu sama lain.

Selian itu semua, terdapat karakteristik yang harus diperhatikan dalam mendesain pembelajaran seperti pluralitas, fleksibilitas, dan kemanusiaan.

Kendala utama untuk mengembangkan pembelajaran sejarah berbasis socio-edu-eco-tourism terdapat dalam kompetensi dasar matapelajaran sejarah dimana tidak semua materi-materi yang tersaji memberikan manfaat secara praktis dalam kehidupan, khususnya untuk menumbuhkan minat wirausaha. Setidaknya perlu kejelian dari pendidik dalam menyajikan materi sejarah untuk menyisipkan kelokalan potensi daerah sebagai bahan kajian.

Salah satu contoh kompetensi dasar yang bisa digunakan adalah KD 3.2 tentang menganalisis kehidupan manusia dan hasil-hasil budaya masyarakat pra-aksara Indonesia. Dalam kompetensi dasar tersebut bisa ulas mengenai kehiduapan manusia dalam pusara perubahan dan kelanjutan yang ada di lingkungan sekitar. Dalam pembelajaran ini, peserta didik dapat diminta untuk menganalisis kehidupan orang-orang dalam dunia usaha pariwisata misalnya, baik usaha dalam wisata alam, budaya, maupun buatan. Peserta didik diminta untuk melakukan observasi (pengamatan langsung) dan melakukan wawancara untuk mengetahui kehidupan mereka baik secara sosial dan ekonomi, beserta dengan perubahannya. Dari sinilah, peserta didik diharapkan memperoleh inspirasi dan ide untuk memecahkan persoalan dengan berpikir kritis supaya para pengusaha itu bisa mengembangakan usahanya dan mampu mensejahterakan masyarakat di sekitarnya.

Dalam kehidupan pasti ada konsep perubahan dan keberlanjutan, oleh karenanya perlu mendekatkan materi yang diajarkan di sekolah dengan lingkungan sekitar. Hal ini membutuhkan kepekaan dari pendidik dan peserta didik untuk bisa menjaga dan melestarikan alam. Sesuai dengan konsep socio-edu-eco-tourism yang mana pembelajaran sejarah dimaksudkan socio (untuk menggali menggali makna dan kearifan lokal di masyarakat dengan membentuk komunitas/kelompok di masyarakat), edu (untuk memberi/memperoleh wawasan dari pelatihan/sosialisasi di tempat wisata), dan eco (untuk melakukan konservasi lingkungan dan melastarikannya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar).

Mengingat di Kecamatan Dampit terdapat empat UPT SLTA Negeri/Swasta yang hanya berpusat di sekitar kota, maka pembelajaran seperti ini masih mungkin bisa dilakukan. Dalam proses pembelajaran, awalnya peserta didik dirangsang untuk mengeksplorasi tempat-tempat wisata di lingkungan sekitar, lalu mengidentifikasi penyebab tempat wisata itu kurang dikembangkan, yang pada akhinya peserta didik diminta memberikan solusi untuk permasalahan cara menumbuhkan ekonomi masyarakat desa di lingkungan sekitar tempat tinggal. Desain pembelajaran ini menggunakan teori belajar konstruktivisme yang menekankan pada proses individu melalui pengalamannya dalam merekonstruksi pengetahuan, sehingga pembelajaran sejarah dirancang sedemikian rupa berdasarkan kebutuhan individu.

Best Practice 3

SHEM sebagai perspektif baru dalam Pembelajaran Sejarah

Sejarah adalah ilmu tentang manusia dalam dimensi waktu dan tempat (ruang). Pemahaman konsep tentang ruang dan waktu merupakan materi dasar yang diajarkan pada tahun pertama sekolah menengah atas. Sampai saat ini materi tersebut seringkali dianggap hanya sebagai pengantar dan disampaikan sebatas hafalan. Padahal konsep ini sangat penting untuk memberikan landasan pemahaman bagi siswa untuk mengerti bahwa setiap peristiwa sejarah yang menyangkut perkembangan manusia tidak lepas dari waktu/masa mereka hidup dan tempat/lingkungan mereka. Penjelasan konsep ini seharusnya diiringi dengan penggunaan teori-teori sosial sebagai pisau analisis peristiwa sehingga mereka dapat mengkonstruk pengetahuan sejarah dalam kerangka berpikir yang utuh. Kemampuan ini akan menumbuhkan sikap bijaksana dalam menilai sebuah peristiwa baik dalam konteks masa lalu, masa kini, maupun masa depan sehingga benih-benih radikalisme dan ekstrimisme dapat diminimalisir.

Dewasa ini informasi sejarah tidak hanya berasal dari satu sumber (negara) yang disampaikan melalui sekolah (mata pelajaran sejarah) atau siaran televisi, tetapi dari beragam sumber seperti internet, media sosial, dan selebaran-selebaran. Informasi-informasi tersebut seringkali bertentangan bahkan secara jelas menjadi media perlawanan kelompok tertentu untuk arus besar. Kondisi ini jika tidak disikapi dengan kemampuan analisis logis dan perspektif yang luas maka akan berdampak pada kebingungan publik bahkan fanatisme dan ekstrimisme terhadap informasi tertentu tanpa landasan rasional yang jelas. Beberapa contoh kasus tersebut antara lain informasi yang menayatakan bahwa Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman atau tentang Gajahmada yang seorang muslim dengan nama asli Gaj Ahmada. Baru-baru ini terdapat pertentangan publik akibat film Jejak Khilafah di Nusantara, dimana banned terhadap film ini dianggap sebagai gerakan anti kebebasan.

   Berdasarkan kondisi tersebut dapat disimpulkan bahwa permasalahan pembelajaran sejarah tidak hanya muncul di sekolah terkait kebosanan karena hanya hafalan fakta dan peristiwa tetapi juga di kalangan masyarakat umum yang cenderung kurang memiliki kemampuan berpikir kritis dalam mencerna informasi sejarah. Hal tersebut saat ini mungkin dianggap sepele, namun dua dekade terakhir pasca Reformasi dapat diamati bahwa penyebaran paham radikalisme dan ekstrimisme semakin luas, bahkan dikalangan pendidikan menengah dan tinggi. Hal ini bisa jadi merupakan gambaran nyata kekhawatiran Seixas tentang bagaimana family experiences and other sources of information outside school strongly influence the way in which students understand history (Seixas, 1993). Salah satu perspektif baru yang ditawarkan dalam menghadapi permasalahan tersebut adalah pengemasan pembelajaran sejarah dengan pendekatan multidimensional dan interdisipliner terutama dalam penanaman karakter kepada siswa yaitu SHEM (Society, Humanity, Equality, and Morality). Pembelajaran sejarah dengan perspektif SHEM dirancang untuk proses internalisasi nilai karakter secara psikologis dan sosiologis dalam bingkai perbedaan dan kebersamaan. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran sejarah sebagai bangsa Indonesia yang beragam. Kesadaran ini tidak dapat tumbuh begitu saja melainkan harus diusahakan dalam proses pendidikan mengingat bahwa kesadaran terdiri dari natural will (Wesenwille) and rational will (Kuerwille)(Tonnies, 2017).

Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa penanaman pendidikan karakter pada mata pelajaran sejarah diatur oleh pemerintah melalui kurikulum yang secara jelas meminta agar setidaknya 5 nilai-nilai PPK diajarkan dan dievaluasi secara rutin. Penanaman nilai secara parsial melalui teladan dan internalisasi secara berkala dalam kegiatan pembelajaran belum mencapai hasil yang diharapkan terbukti bahwa secara umum kita dapat melihat bahwa benih-benih radikalisme dan ekstrimisme semakin menyebar luas (cari data penelitiannya). SHEM sebagai perspektif baru menawarkan kegiatan penanaman karakter melalui analisis kritis terhadap peristiwa sejarah berdasarkan konsep-konsep sosilogis pembentukan masyarakat Indonesia. Hal ini dilakukan dengan landasan berpikir bahwa Pembelajaran sejarah mengandung dua konsep yaitu sejarah sebagai realitas budaya dan sejarah sebagai realitas sosial(Sulaiman, 2012). Dalam konteks penelitian ini sejarah dipandang sebagai realitas sosial.

Unsur pertama dalam perspektif ini adalah Society. Society adalah a community, nation, or broad grouping of people having common traditions, institutions, and collective activities and interests. Di dalam kehidupan kolektif ini terdapat tatanan sosial keberadaban yang memungkinkan manusia berpikir secara moral untuk mencapai kesempurnaan (Sudibyo, 2010)(Sulfan & Mahmud, 2018). Kesempurnaan manusia diraih melalui kemampuan untuk menyeimbangkan interaksi antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan. Dalam proses ini dinamika sosial seperti pertentangan, pertengkaran, dan konflik merupakan fenomena umum yang akan berakhir jika muncul kesadaran bersama tentang perlunya aturan interaksi(Sudibyo, 2010). Dalam hal ini Tejokusumo melihat bahwa dinamika proses sosial di masyarakat merupakan sumber belajar yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman dan kompetensi anak terhadap lingkungan sosial di sekitarnya(Tejokusumo, 2014). Melalui kajian ini diharapkan siswa dalam menganalisis bahwa perubahan sosial di masyarakat dapat terjadi akibat adanya perubahan interaksi dan perilaku individual di tingkat mikro(Sulfan & Mahmud, 2018).

Penanaman karakter dalam pembelajaran sejarah dengan implementasi konsep society berarti menarasikan terbentuknya masyarakat Indonesia secara utuh pada setiap periodisasi sejarah berdasarkan tradisi, kegiatan kolektif, dan ketertarikan yang muncul pada waktu peristiwa terjadi. Hal ini juga menyangkut tentang tokoh berserta latar belakang sosial-budaya, pemikiran, dan persepsi mereka sesuai jaman dimana mereka hidup. Melalui pembelajaran ini siswa juga dapat memahami bahwa proses sosial disosiatif dalam sejarah seperti perang, revolusi fisik, pertentangan, dan konflik adalah sesuatu yang wajar dan harus dilihat dalam konteks peristiwa tersebut terjadi sehingga tidak akan memunculkan dendam generasi yang berujung pada perpecahan di masa kini dan mendatang. Melalui kerangka berpikir ini pula siswa dapat memandang bahwa proses sosial asosiatif dalam sejarah dibangun dan diusahakan sedemikian rupa dalam masyarakat Indonesia yang beragam demi terciptanya kerukunan dan perdamaian. Hal ini merupakan salah satu solusi pembelajaran sejarah bagi generasi muda Indonesia yang karena kebebasan informasi jadi memiliki sikap ambivalensia dengan ideologi ganda, yaitu mencintai Indonesia dengan membabi buta, namun menjadi pendukung dari ideologi dunia (lain) yang bahkan mereka tak pernah kenal secara nyata (Bungin, 2011).

Unsur kedua adalah humanity, humanity adalah perilaku atau watak penyayang, simpatik, atau murah hati yang menggambarkan keadaan manusiawi (Seymour, M., & Levin, 2015). Analisis sejarah dalam perspektif konsep humanity sangat penting dilakukan karena merupakan humanity merupakan dasar dari cosmopolitan education yang mampu menjadikan pendidikan tidak hanya sebagai transfer ilmu tetapi juga mempersiapkan manusia terdidik dan masa depan yang lebih manusiawi (Seymour, M., & Levin, 2015)(Todd, 2015). Selain itu, integrasi konsep ini dalam pembelajaran sejarah diharapkan mampu memberikan memberi kita perasaan singkat tentang siapa kita, mengapa kita ada, dan bagaimana cara mencapai tujuan keberadaan kita sebagai manusia(Todd, 2015). Implementasi konsep ini setidaknya akan menciptakan situasi pembelajaran sejarah dengan sudut pandang kemanusiaan, tanpa sikap menghakimi terhadap kesalahan-kesalahan yang terjadi di masa lalu sehingga memunculkan perasaan simpatik dan penyayang pada diri siswa. Mereka juga akan secara tidak langsung mendalami peran apa yang dapat mereka mainkan dalam konteks kemanusiaan bagi kemajuan bangsa dan standar apa yang harus mereka miliki sebagai warga negara Indonesia.

Unsur ketiga adalah equality, Equality is about protecting people’s rights dengan saling menghormarti, partisipasi, dan hubungan baik(Gannon & Ruane-Kelly, 2012). Pemahaman hal ini penting untuk achieve sustainable development and make the planet better(United Nations, 2016). Kesetaraan dalam eksplanasi sejarah berarti memandang semua peristiwa dengan semangat untuk saling menghormati dan menjaga hubungan baik agar tidak menimbulkan sikap dominasi peran yang berujung pada keinginan untuk tindakan sewenang-wenang terhadap kelompok minoritas. Contoh kasus yang sering terjadi dalam narasi populer perjuangan kemerdekaan Indonesia klaim dari salah satu kelompok bahwa peran mereka sangat besar sehingga lebih berhak untuk menentukan arah dan kebijakan penyelenggaraan negara. Kondisi ini sebenarnya pernah terjadi di awal kemerdekaan sehingga berujung pada konflik horizontal dan disintegrasi. Belajar dari kondisi masa lalu, maka penyampaian materi sejarah dengan kerangka beripikir kesetaraan sangat penting dilakukan apalagi pada kondisi saat ini rentan konflik.

Unsur keempat adalah morality, moralitas menurut Durkheim merupakan tali kekang yang digunakan untuk mengendalikan keinginan “lebih” agar manusia tidak terlalu menurut nafsu dimana kemampuan ini harus dikembangkan oleh pendidikan (Durkheim, 1990).  Pemahaman terhadap moralitas merupakan suatu kebutuhan penting bagi remaja yang berada pada tahap konvensional untuk dijadikan pedoman menemukan identitas dirinya, mengembangkan hubungan personal yang harmonis, dan menghindari konflik-konflik perang yang selalu terjadi dalam masa transisi(Desmita, 2006). Pada tahap ini siswa sudah harus mulai mengenal konsep-konsep moralitas seperti kejujuran, keadilan, kesopanan, dan kedisiplinan agar mereka memiliki kecerdasam moral yang mencakup kemampuan untuk memahami penderitaan orang lain dan tidak bertindak jahat; mampu mengendalikan dorongan dan menunda pemuasan; mendengarkan dari berbagai pihak sebelum memberikan penilaian; menerima dan mengharagi perbedaan; bisa memahami pilihan yang tidak etis; dapat berempati; memperjuangkan keadilan; dan menunjukkan kasih sayang dan rasa hormat terhadap orang lain (Desmita, 2006)(Borba, 2008). Konsep-konsep tersebut dapat digunakan sebagai kerangka eksplanasi sejarah dalam proses pembelajaran untuk menanamkan karakter secara kritis melalui analisis peristiwa di masa lalu. Hal ini diharapkan dapat menumbuhkan moralitas otonom yang tumbuh dalam diri siswa dalam bentuk kesadaran bukan pemaksaan.

Implementasi SHEM dalam pembelajaran sejarah diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran berbangsa melalui proses rational will sehingga internalisasi nilai-nilai karakter yang selama ini dilakukan secara indoktrinasi tidak lagi terjadi. Dewasa ini penanaman nilai secara indoktrinasi tidak efektif karena perbedaan karakter generasi. Contoh kongkrit adalah penanaman nilai nasionalisme melalui indotrinasi yang ternyata tidak mampu menangkal masuknya paham radikalisme. Hasil survey yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian menyatakan bahwa hampir 52 persen pelajar menyetujui aksi atau tindakan radikal di Indonesia. Hal ini diperkuat oleh BIN (Badan Intelejen Nasional) yang menyatakan bahwa usia 17-24 sangat rentan terpapar radikalisme.

Rujukan

Ahmad, T. A. (2013). PEMBELAJARAN SEJARAH BERWAWASAN LINGKUNGAN. Indonesian Journal of Conservation, 2(1).

Aisyah, S., Pamungkas, A., & Gustomi, A. (2019). WISATA TERPADU ECO-EDU TOURISM MANGROVE SEBAGAI UPAYA PEMBERDAYAAN SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT DI SUNGAI BUNTING LESTARI – BELINYU. Prosiding Seminar Hukum Dan Publikasi Nasional (Serumpun), 364–373.

Ayundasari, L. (2017). Urgensi Pembelajaran Sejarah Berbasis Potensi Lokal Bahari Untuk Menumbuhkan Minat Wirausaha di Pesisir Selatan Kabupaten Malang. Sejarah Dan Budaya : Jurnal Sejarah, Budaya, Dan Pengajarannya, 11(2), 211–219. https://doi.org/10.17977/um020v11i22017p211

Borba, M. (2008). Membangun Kecerdasan Moral: Tujuh Kebajikan Utama agar Anak Bermoral Tinggi. Gramedia Pustaka.

Bungin, B. (2011). Masyarakat Indonesia Kontemporer dalam Pusaran Komunikasi. Jurnal ASPIKOM, 1(2), 125. https://doi.org/10.24329/aspikom.v1i2.12

Desmita. (2006). Psikologi Perkembangan. Remaja Rosda Karya.

Durkheim, E. (1990). Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan. Airlangga.

Gannon, M., & Ruane-Kelly, A. (2012). Equality and Diversity: Building a culture of equality in our society.

Permana, R. (2020). Pembelajaran Sejarah Lokal di Sekolah. Media Edukasi Indonesia.

Sahin, M. C. (2009). Instructional Design Principles For 21st Century Learning Skills. Journal Procedia Social and Behavioral Sciences, 1, 1464–1468.

Seixas, P. (1993). Historical Understanding among Adolescents in a Multicultural Setting. Curriculum Inquiry, 23(3), 301–327. https://doi.org/10.1080/03626784.1993.11076127

Seymour, M., & Levin, H. M. (2015). Educating for humanity: Rethinking the purposes of education. Routledge.

Shahroom, A. A., & Hussin, N. (2018). Industrial Revolution 4.0 and Education. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, 8(9), 314–319. https://doi.org/10.6007/ijarbss/v8-i9/4593

Subakti, Y. (2010). PARADIGMA PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS KONSTRUKTIVISME. 24(1).

Sudibyo, A. (2010). Masyarakat Warga dan Problem Keberadaban. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 14(1), 23–46. https://doi.org/10.22146/jsp.10947

Sulaiman, S. (2012). Pendekatan konsep dalam pembelajaran sejarah. Jurnal Sejarah Lontar, 9(1).

Sulfan, & Mahmud, A. (2018). Konsep Masyarakat Menurut Murtadha Muthahhari (Sebuah Kajian Filsafat Sosial). Jurnal Aqidah-Ta, IV(2), 1–16.

Sutisno, A. N., & Afendi, A. H. (2018). Penerapan Konsep Edu-Ekowisata Sebagai Media Pendidikan Karakter Berbasis Lingkungan. Jurnal Ecolab, 12(1), 1–11. https://doi.org/10.20886/jklh.2018.2.1.1-11

Tejokusumo, B. (2014). Dinamika Masyarakat Sebagai Sumber Belajar Ilmu Pengetahuan Sosial. Geoedukasi, 3(1), 38–43.

Todd, S. (2015). Toward an imperfect education: Facing humanity, rethinking cosmopolitanism. Routledge.

Tonnies, F. (2017). Community and Society. Routledge.

United Nations. (2016). EQUALITY : Why it Matters.

Zakiyah, U., & Idrus, I. A. (2017). Srategi Pengelolaan Sumber Daya Alam Desa Ponggok. JIP (Jurnal Ilmu Pemerintahan) : Kajian Ilmu Pemerintahan Dan Politik Daerah, 2(2), 84–95. https://doi.org/10.24905/jip.2.2.2017.84-95