Pada menu ini pengguna dapat menemukan informasi sejarah yang dapat digunakan sebagai bahan ajar pembelajaran sejarah dengan pendekatan multidimensional dan interdisipliner.


 

Malang Tenggara merupakan salah satu wilayah yang paling dinamis pada abad 19-20. Hal ini dikarenakan perubahan sosial ekonomi yang mendasar dari masyarakat subsisten menjadi masyarakat industri. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat dampak perubahan lingkungan terhadap pola kehidupan masyarakat yang terjadi disana. Lokasi penelitian ini adalah Dampit, Tirtoyudo, dan Ampelgading. Metode penelitian yang digunakan adalah historis. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi lapangan dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perubahan sosial yang diakibatkan perubahan ekologi sebagai dampak tidak langsung dari tumbuhnya puluhan perkebunan kopi swasta di wilayah ini.

Malang Tenggara merupakan istilah yang secara sengaja digunakan untuk menyebut tiga wilayah kecamatan yaitu Dampit, Tirtoyudo, dan Ampelgading. Istilah ini dikembangkan untuk mempermudah penyebutan wilayah tersebut dalam lintas abad. Ketiga kecamatan tersebut secara geografis terletak di lereng Gunung Semeru dengan kontur tanah yang terdiri dari lembah, lereng, dan bukit. Terdapat dua jenis tanah yang mendominasi wilayah ini yaitu latosol coklat kemerahan dan mediteran coklat kemerahan (Dinas Pekerjaan Umum, 2011). Tanah tersebut terkenal subur dan sangat sesuai untuk digunakan sebagai lahan pertanian maupun perkebunan. Hal inilah yang menjadi daya tarik utama pembukaan lahan perkebunan oleh pemerintah Belanda secara besar-besaran pada abad ke-19 baik pihak swasta maupun pemerintah kolonial Belanda. Selain tanah yang subur wilayah ini juga memiliki suplai air yang melimpah sebagai dampak dari lebatnya hutan. Salah satu hulu sungai yang ada di wilayah ini adalah Sungai Lesti, terdapat juga puluhan sumber air yang menyebar diketiga kecamatan tersebut.

Perpaduan sempurna antara jenis tanah dan sumber air di Malang Tenggara telah banyak mengundang para pendatang untuk menetap di wilayah ini. Namun, sebelum masa perkebunan besar di pertengahan abad ke 19, wilayah ini tidak memiliki banyak penduduk dikarenakan beberapa hal antara lain kontur tanah berbukit-bukit dengan akses terbatas, tidak terdapat tanaman produksi yang dapat dijadikan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup, sebagian besar masih berupa hutan belantara yang memerlukan pengolahan lebih lanjut, dan tidak ada moda transportasi menuju ke wilayah ini. Terlepas dari hal tersebut persebaran penduduk di Jawa Timur sampai dengan awal abad ke-19 belum merata dan sepadat pada masa kini. Pada masa tersebut persebaran penduduk masih terkonsentrasi di pusat-pusat kota wilayah jalur perdagangan di pesisir utara Jawa. Sedangkan wilayah pegunungan apalagi di pedalaman bagian selatan Jawa rata-rata masih belum berpenghuni dan berupa hutan.

Persebaran penduduk kearah Malang Tenggara tidak terlepas dari perkembangan Malang sebagai afdeeling dan gemeente. Afdeeling merupakan salah satu tingkatan dalam struktur pemerintahan kolonial Belanda yang setara dengan kabupaten. Secara struktural posisi Afdeeling adalah bagian dari karesidenan, yang pemimpinnya disebut sebagai asisten residen, biasanya dalam satu karesidenan terdapat beberapa afdeeling. Sedangkan gemeente adalah nama pembagian administratif dalam tatanegara yang setara dengan kotamadya.

Gambar Struktur Administrasi Pemerintahan Masa Kolonial 1880-1942 (Furnival, 2019)

 

Afdeeling Malang terdiri dari lima kontrolir yaitu Kota Malang, Batu, Kepanjen, Turen, dan Tumpang. Malang Tenggara masuk dibawah administrasi distrik Turen yang terdiri dari Turen, Wajak, Dampit, Ampelgading dan Sumbermanjing. Sedangkan Gemeente Malang terbentuk tahun 1914 yang pengembangan kotanya difokuskan pada bagian barat (Handinoto, 2004).

Gambar Peta Karesidenan Pasuruan 1860 (Furnivall, 2009: 74)

Wilayah Malang Tenggara secara administratif berada dibawah afdeeling Malang. Perkembangan pesat di wilayah ini terjadi setelah pemberlakuan UU Agraria 1870. Sebuah undang-undang yang lahir atas dorongan kaum liberal di Belanda yang memungkinkan pihak swasta untuk berperan dalam pengelolaan lahan di wilayah Hindia Belanda dan memiliki hak erfpacht. Para pemilik modal asing dapat menyewa tanah selama 75 tahun dari bumiputera dan rata-rata tanah tersebut ditanami oleh tanaman industri seperti teh, kopi, tebu, coklat, kina, cengkeh, nila dll. Pemberlakuan undang-undang ini berdampak besar terhadap kehidupan sosial dan ekonomi di pulau Jawa dan Sumatera. Dampak tersebut antara lain monetisasi di Jawa, tumbuhnya sektor perkebunan di Bandung Selatan, terbatasnya aktivitas ekonomi orang Arab di Surabaya, pertumbuhan industri gula di Karesidenan Cirebon dll (Utami, 2015) (Jayanto, 2016) (Hakim, 2018) (Luthfiyah, 2018). Sedangkan di Malang pemberlakuan undang-undang ini berdampak pada menjamurnya perkebunan swasta terutama di Dampit dan Ampelgading. Berdasarkan peta Ampelgading sekitar awal abad ke-19 terdapat banyak perkebunan budidaya di wilayah ini seperti Og Soemberandong, Og Kaliglidik, Og Lebakroto, Og Soemberremis, Og Wonokojo, Og Soembersengkaring, Og Soembertelogo, Og Soembertjeleng, Og Sonosekar, OG Sonowangi dll.

Keberadaan perkebunan budidaya (onderneming) tersebut telah berpengaruh pada perubahan lansekap dan pola kehidupan di Malang Tenggara. Setidaknya terdapat alih fungsi lahan secara besar-besaran yang pada awalnya berupa hutan belantara menjadi lahan tanaman produksi. Selain itu, keberadaan perkebunan tersebut mengundang kehadiran orang-orang luar Malang Tenggara untuk menetap disana. Melihat potensi wilayah Malang Tenggara pemerintah kolonial membangun akses transportasi untuk mempermudah pengangkutan hasil bumi antara lain dengan membuat jalan poros yang dapat dilalui oleh mobil dari Malang menuju Ampelgading. Selain itu juga dibangun jalur trem yang menghubungkan Malang-Dampit sebagai kelanjutan jalur kereta api Lawang-Malang yang selesai pada tahun 1879 (Handinoto, 2004).

Alih fungsi lahan di wilayah Malang Tenggara menjadi penanda penting bagi perubahan sosial ekonomi di wilayah ini. Lahan merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki manfaat serta fungsi sangat penting dalam kehidupan karena digunakan untuk berbagai hal seperti tempat tinggal dan penghidupan. Lahan seringkali mengalami perubahan dari waktu ke waktu sesuai dengan jenis pengunaannya. Perubahan tersebut merupakan suatu proses yang berjalan seiringan dengan aktivitas manusia dengan berbagai macam penyebab antara lain perluasan batas wilayah, perpanjangan pusat kota, perluasan jaringan infrastruktur, tumbuh dan hilangnya pemusatan aktivitas tertentu misalnya aktivitas industri yang seringkali mengalami keadaan tidak menentu.

Dewasa ini terdapat banyak kajian yang membahas tentang perubahan fungsi lahan terutama perubahan dari lahan pertanian ke non-pertanian (Rustiadi, 2001)(Iqbal & Sumaryanto, 2016). Hal tersebut sangat terkait erat dengan era industrialisasi abad ini, namun tidak banyak yang menyadari bahwa dua abad sebelumnya terdapat alih fungsi lahan besar-besaran dari hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Oleh karena itu, pada dasarnya alih fungsi lahan merupakan fenomena historis yang terus berulang seiring dengan gerak jaman. Jika dicermati lebih lanjut perubahan fungsi lahan tidak hanya terjadi pada pusat-pusat kota dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan memusat tetapi juga di pedesaan. Dalam konteks kajian ini perubahan lahan terjadi akibat dari pertumbuhan perkebunan swasta yang berkembang pesat sejak pemberlakuan Undang-undang Agraria 1870.

Pada awal abad ke-19 terjadi peningkatan penggunaan lahan untuk penanaman berbagai varietas produk perkebunan seperti teh, kopi, tebu, kina, coklat, indigo dll sesuai dengan permintaan pasar Eropa. Kegiatan ini telah merubah fungsi lahan di sebagian besar pulau Jawa dan Sumatera.  Di wilayah afdeeling Malang perubahan yang nampak adalah dari lahan berupa hutan menjadi perkebunan. Seiring dengan pertumbuhan perkebunan yang begitu pesat dan hampir menyeluruh di Malang Tenggara tentu saja membawa pengaruh pada pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk ini terjadi karena adanya migrasi dari beberapa daerah di luar afdeeling Malang. Perpindahan penduduk ini disebabkan oleh berbagai hal seperti adanya wabah penyakit, kurangnya lapangan pekerjaan dan keinginan untuk memperbaiki taraf hidup. Beberapa alasan tersebut mendorong adanya perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain. Migrasi yang terjadi di afdeeling Malang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya para penduduk luar daerah yang berpindah untuk bekerja di sektor perkebunan sebagai penebang untuk menyiapkan lahan, penanam bibit, perawat tanaman, dan pemetik hasil perkebunan. Selain karena kegiatan perkebunan, kehadiran para migran ini juga dipengaruhi oleh keberadaan pabrik-pabrik pengolahan hasil perkebunan baik yang ada di Malang Tenggara maupun sekitarnya  seperti Pabrik Kopi Margosuko, Pabrik Kopi Wonokoyo, Pabrik Gula Krebet, Pabrik Gula Kebonagung dll.

Perubahan lansekap di wilayah Malang Tenggara juga dipengaruhi oleh pola pemukiman penduduk. Sebelum abad ke-19 pola pemukiman yang ada di Malang Tenggara tersebar secara sporadis disekitar keramaian seperti pasar dan jalan poros, jarang sekali penduduk yang tinggal mendekati lereng tertinggi. Namun, kehadiran perkebunan dan industri pengolahannya menyebabkan pola pemukiman berubah.  Perubahan ini terlihat jelas terutama di wilayah Ampelgading, diwilayah ini terdapat belasan onderneming milik swasta mulai dari Kaliglidik (desa terrakhir yang mendekati puncak Semeru) sampai Lebakroto yang berada di jalur poros Malang-Lumajang. Pola pemukiman ini berbentuk kelompok-kelompok rumah disekitar pabrik tau jalan besar yang disebut sebagai kampungan dan shelter-shelter khusus di dalam komplek perkebunan yang disebut sebagai persil.

Keberadaan perkebunan dan pabrik tersebut tidak hanya mengubah pola pemukiman secara fisik tetapi juga komposisi penduduk. Dewasa ini Malang Tenggara kita sering menemukan keluarga besar suku Madura yang telah tinggal turun-temurun. Rata-rata mereka adalah keturunan keempat atau kelima dari leluhur mereka yang bermigrasi ke wilayah ini sekitar awal abad ke-19. Berdasarkan data yang dihimpun Gooszen (1999) tentang inmigration di afdeeling Malang dapat diketahui bahwa migrasi masuk ke wilayah ini yang menduduki peringkat pertama adalah Suku Madura, baru kemudian diurutan selanjutnya adalah Suku Jawa dari berbagai wilayah terutama Karesidenan Kediri dan wilayah Jawa Tengah. Selain itu, terdapat beberapa migran dari Etnis Cina yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Di pedalaman Ampelgading ditemukan keluarga yang merupakan keturunan keempat dari keluarga Mbok Denok, orang Cina yang berdagang di Pasar Jagalan kemudian menikah dengan penduduk setempat dan menetap disana. Jumlah etnis Cina lebih banyak ditemukan di Dampit terutama disekitar pasar. Kebanyakan dari etnis ini bekerja sebagai pengepul dan penyalur perdagangan kopi.

Perubahan lansekap dan pola pemukiman ternyata sangat berpengaruh kepada pola kehidupan masyarakat. Makhluk hidup khususnya manusia memiliki pola kehidupan yang khas tergantung dari lingkungan hidup mereka. Manusia sebagai makhluk sosial seringkali hidup dalam suatu kelompok yang membentuk sebuah komunitas masyarakat. Hubungan manusia dengan lingkungan menimbulkan simbiosis, dimana antara manusia dan lingkungan ataupun makhluk hidup lain memiliki ketergantungan yang erat. Pengaruh lingkungan ini dapat dibedakan menjadi dua faktor yaitu lingkungan fisik dan juga faktor ingkungan sosial. Lingkungan fisik disini merupakan lingkungan yang meliputi geografis suatu daerah, sedangkan lingkungan sosial merupakan lingkungan masyarakat. Dimana dalam lingkungan masyarakat ada interaksi antar individu (Walgito, 1992:39-40).

Faktor-faktor tersebut diatas yang bisa mempengaruhi pola perilaku masyarakat terhadap keadaan lingkungannya. Dalam hal ini juga bisa dikatakan bahwa berdasarkan faktor tersebut masyarakat telah terpengaruh dalam pola kehidupan masyarakat yang ada di lingkungannya. Selain itu ada juga faktor motif yang mempengaruhi masyarakat atau bisa disebut sebagai motivasi kepada masyarakat untuk ikut andil dalam partisipasi suatu kegiatan. Dalam ilmu psikologi motif ini didasari oleh beragam alasan, oleh sebab itu banyak pendapat tentang teori motif tersebut. Jika dihubungkan dengan motivasi masyarakat terhadap terbentuknya suatu pola kehidupan ada dua teori yang kemungkinan besar dapat mempengaruhi masyarakat tersebut. Ada teori dorongan, dimana manusia itu bertindak berdasarkan dorongan dari orang lain. Kemudian ada juga teori intensif dimana manusia melakukan suatu tindakan karena sadar akan akibat yang dihasilkan dari tindakannya tersebut (Walgito, 1992:168-174).

Abad ke-19 menjadi awal perubahan drastis tatanan kehidupan masyarakat di Asia Tenggara. Perubahan ini terjadi karena perkembangan teknologi dari Eropa, yang mengubah pola kehidupan masyarakat di Eropa dan berdampak sampai hampir diseluruh dunia. Hal ini disebabkn oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan berkembangnya industrialisasi. Berawal dari Inggris yang mengembangkan industrialisasinya dan diikuti oleh negara Eropa lainnya. Dimana perkembangan ini juga mengakibatkan dampak buruk karena keinginan untuk menguasai sumber daya dari berbagai wilayah unutk kemakmuran negara asal. Hal inilah yang menjadi awal dari kemunculan kolonialisme dan imperialisme. Ricklef (2013) menyatakan bahwa kolonialisme dan dan eksploitasi sumber daya alam maupun manusia merajalelda dan tersebar hampir diseluruh dunia demi memenuhi permintaan bahan mentah dan sumber daya manusia.

Berawal dari kolonialisme yang masuk ke Indonesia, membawa perubahan besar terhadap tatanan yang sudah ada. Walaupun perubahan tatanan baru bertujuan untuk kemajuan, tetapi terkadang menghapuskan tatanan lama yang dirasakan lebih baik dari sebelumnya (Santun, 2010: 1). Perubahan tersebut dikarenakan kebijakan-kebijakan baru yang diterapkan oleh pemerintah kolonial. Seperti yang kita tahu bahwa kolonialisme di Indonesia berabad-abad dikuasai oleh Belanda. Dimana kebijakan yang diterapkan silih berganti, sesuai dengan kebutuhan dan keuntungan pihak kolonial. Hal ini sangat mempengaruhi pola kehidupan masyarakat pribumi. Dimana dengan adanya kebijakan baru, masyarakat diwajibkan mengikuti kebijakan tersebut, dan menyesuaikan diri dengan kebijakan tersebut.

Sebelum datangnya penjajahan di Indonesia, masyarakat Indonesia khususnya di Jawa menganut sistem feodal. Dimana masyarakat kelas bawah sangat patuh kepada pejabat pemerintahan ataupun raja. Pada masa Dandels banyak diterapkan kebijakan-kebijakan baru terhadap masyarakat pribumi. Seperti pemberantasan sistem feodal untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh para kaum elite pribumi. Sistem feodal ini sedikit demi sedikit dikikis karena dianggap menghambat penguasa jika masyarakat hanya patuh kepada pimpinan mereka dan tidak patuh kepada pemerintah Hindia-Belanda. Hal ini secara tidak langsung tujuannya adalah untuk membatasi hak-hak elite pribumi. Secara umum pola kehidupan masyarakat Indonesia berbeda sejak kehadiran bangsa barat. Perubahan ini terus berlanjut seiring dengan perubahan kebijakan pemerintah kolonial mulai dari masa kejayaan rempah-rempah sampai masa perkebunan besar.

Malang Tenggara tidak pernah terdampak kejayaan rempah-rempah, wilayah ini mulai dikenal pemerintah kolonial karena kesuburan tanahnya yang sesuai dengan tanaman komoditas perkebunan sekitar awal abad ke-19. Sebelum abad ke-19 dapat diidentifikasi bahwa lingkungan Malang Tenggara sebagian besar berupa hutan berdampak pada aktivitas penduduk yang rata-rata mendapatkan penghidupan dengan memanfaatkan hasil hutan dan dimungkinkan secara ekonomi mereka masih menggunakan sistem barter dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka. Sedangkan, pada paruh kedua abad ke-19 ketika masa perkebunan besar. Masyarakat di wilayah ini berkembang sebagai masyarakat kelas pekerja yang banyak menghabiskan waktunya sebagai buruh perkebunan dan buruh pabrik. Bergama jenis pekerjaan muncul sebagai akibat dari perubahan lingkungan tersebut antara lain wiwil dan gacok. Wiwil adalah pekerjaan sebagai pembersih pohon kopi yaitu membersihkan tunas-tunas kopi yang jelek, sedangkan gacok adalah pekerjaan sebagai tukang untuk membersihkan akar-akar tumbuhan disekitar pohon kopi.

Jenis pekerjaan baru di lingkungan perkebunan juga memunculkan stratifikasi sosial berdasarkan profesi secara berurutan sebagai berikut mandor besar, mandor arean, mandor rantek, dan buruh. Kelas pertama, mandor besar merupakan pimpinan dari beberapa area perkebunan kopi. Kelas kedua, mandor arean adalah mandor yang memimpin satu area perkebunan. Kelas ketiga, mandor rantek adalah mandor kecil yang memimpin beberapa kelompok pekerja sesuai dengan klasifikasinya dalam satu wilayah perkebunan. Kelas terakhir, buruh adalah kelompok pekerja yang terspesialisasi berdasarkan pekerjaan harian mereka baik sebagai pembersih, penanam, pemelihara, dan pemanen. Pekerjaan yang telah terstruktur ini dihargai dengan gaji berupa uang, seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa hampir di seluruh wilayah perkebunan besar masyarakatnya mengenal monetisasi lebih awal dari masyarakat lain. Di Malang Tenggara, gaji para pekerja dibayar dengan sistem rol yaitu antri mendapatkan gaji harian di depan lodji. Dalam satu hari pekerja perempuan mendapatkan 1 ece (satu tingkat dibawah sen) dan pekerja laki-laki mendapatkan 15 sen per hari.

Gambar Proses pengeringan kopi di daerah Malang yang dilakukan oleh beberapa buruh tahun 1920. (Sumber : Kitlv)

 

Gambar Pabrik Pengolahan Kopi Wonokoio, Ampelgading 1920

Daftar Rujukan

Furnivall, J.S. 2009. Hindia Belanda Studi tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedom Institute

Hakim, C. L. (2018). Politik Pintu Terbuka: Undang-Undang Agraria dan Perkebunan Teh di Daerah Bandung Selatan 1870-1929. Vidya.

Handinoto. (2004). KEBIJAKAN POLITIK DAN EKONOMI PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA YANG BERPENGARUH PADA MORPOLOGI (BENTUK DAN STRUKTUR) BEBERAPA KOTA DI JAWA. DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR, 32(01), 19–27. Retrieved from http://fportfolio.petra.ac.id/user_files/81-005/Kebijakan Politik.pdf

Iqbal, M., & Sumaryanto. (2016). Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu pada Partisipasi Masyarakat. Analisis Kebijakan Pertanian, 5(2), 167–182. https://doi.org/10.21082/akp.v5n2.2007.167-182

Jayanto, J. (2016). Industri Gula Di Karesidenan Cirebon Tahun 1870-1930 Dan Dampaknya Bagi Masyarakat. Ilmu Sejarah – S1, 1(1), 1–15. Retrieved from http://journal.student.uny.ac.id/ojs/index.php/ilmu-sejarah/article/view/4307

Luthfiyah, W. L. (2018). Pengaruh Undang-Undang Agraria 1870 terhadap eksistensi komunitas Arab di Ampel Surabaya pada tahun 1870-1930 M (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya).

Rustiadi, E. (2001). Alih Fungsi Lahan dalam Perspektif Lingkungan Perdesaan. Lokakarya Penyusunann Kebijakan Dan Strategi Pengelolaan Lingkungan Kawasan Perdesaan, 1011 Mei(November).

Utami, I. W. P. (2015). Monetisasi Dan Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Jawa Abad XIX. Jurnal Sejarah Dan Budaya, 9(1), 51–63.

Walgito, B. 1992. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: ANDI.

Saluran irigasi menjadi salah satu faktor penting keberhasilan Jawa dapat menempati posisi kedua pengekspor gula setelah Kuba. Irigasi secara luas dapat didefinisikan sebagai kegiatan penerapan air tambahan untuk tanah diluar apa yang tersedia seperti air hujan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman dan kualitas dedaunan yang akan dipanen (Sojka dkk, 2002: 745). Kegiatan ini telah dilakukan sejak lama untuk menunjang kehidupan manusia, secara historis bukti arkeologi tertua irigasi yang diusahakan manusia ditemukan di Bukit Yordania Timur Tengah 6000 tahun sebelum masehi (Sojka dkk, 2002: 745).

Di Indonesia penemuan jejak usaha irigasi yang diusahakan manusia ada sejak masa Hindu-Buddha seperti penggalian sungai Candrabaga dan sungai Gomatti oleh Purnawarman masa kerajaan Tarumanegara sebagai usaha menghindari banjir dan kekeringan. Contoh lain yang bisa dilihat sampai saat ini adalah segaran peninggalan kerajaan Majapahit yang lengkap dengan kanal-kanal sebagai aliran air untuk mengairi sawah. Kegiatan irigasi yang dilakukan manusia semakin maju seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan seperti fisika, matematika, kimia, biologi, dan mineralogi (Ravesteijn 2002, Sojka dkk 2002). Tercatat kemajuan dan perluasan irigasi di Indonesia semakin pesat ketika memasuki era pemerintah kolonial khususnya masa Tanam Paksa dan Politik Etis. Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia beberapa negara terjajah lainnya seperti di Vietnam dan Burma yang mengalami laju pembangunan irigasi cukup pesat dimasa penjajahan Perancis (Barker & Molle,  2004).

Pemerintah kolonial Belanda di Indonesia memberikan perhatian khusus untuk masalah irigasi karena pembangunan infrastruktur ini merupakan faktor penting bagi keberhasilan produksi gula yang mereka jual di pasaran. Beberapa langkah yang mereka lakukan adalah mendirikan departemen khusus seperti Biro Pekerjaan Publik, mengalokasikan dana khusus yang mencapai puncaknya tahun 1920 mencapai sepuluh juta gulden per tahun dan mendirikan jurusan yang mengkaji sistem irigasi pada tahun 1903 di Delft yaitu Teknik Hidrolik India Timur dan politeknik di Bandung pada tahun 1921 (Ravesteijn, 2002: 129). Secara umum Ravesteijn (2002: 135) membagi tahap perkembangan irigasi modern di Jawa menjadi tiga yaitu proyek-proyek kecil yang tidak terhubung (1830-1885), pembangunan yang dilaksanakan dibawah pengawasan direksi manajerial (1885-1920) dan realisasi sistem irigasi dan pengawasan (1920-1945).

            Malang sebagai salah satu wilayah terpenting penghasil tebu dan gula di Jawa tidak luput dari sasaran pembangunan irigasi pemerintah kolonial. Berdasarkan tahap pembangunan irigasi yang diklasifikasikan oleh Ravesteijn maka Malang memasuki tahap kedua dimana pembangunan irigasi dilakukan secara terstruktur dibawa pengawasan direksi manajerial. Ertsen (2006) menngemukakan bahwa antara tahun 1890-1907 terdapat 19 proyek irigasi yang dikerjakan pemerintah koloial dan sebagian besar berada di Jawa Timur dan Jawa Tengah.  Saluran irigasi di Malang peninggalan masa kolonial yang dapat dilihat sampai saat ini adalah Siphon Metro Kepanjen (pipa/talang air). Siphon merupakan pipa pemindah air dengan ukuran dan tekanan tertentu. Seperti pendapat Garret (1991:1) yang menyebutkan bahwa siphon ini merupakan alat atau media pemindah air melalui pipa dengan ukuran tertentu dari hulu (daerah yang lebih tinggi) menuju ke hilir (daerah yang lebih rendah). Siphon biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti pipa pembilas di toilet, irigasi pertanian, dan alat pemindah bensin di tangki mobil.

Denah Siphon Metro (Sumber: Maanen, V. Irrigatie in Nederlandsch Indie. Batavia: 1931)

Alasan pemilihan Siphon sebagai teknologi irigasi di sekitar Kepanjen adalah karena daerah ini cukup banyak perbukitannya. Tanaman tebu yang ditanam di daerah ini membutuhkan pasokan air yang cukup, sehingga butuh sistem irigasi perkebunan yang sesuai dengan karakter daerah tersebut. Salah satu sistem irigasi yang sesuai adalah dengan membangun Siphon, karena tidak mungkin membangun banyak dam untuk menyalurkan air dari bukit satu ke bukit lainnya. Hal ini berbeda dengan kondisi perkebunan di dataran rendah lainnya. Di daerah dataran rendah seperti Surabaya, Mojokerto, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo dan Besuki lebih mudah untuk mengalirkan air karena topografinya yang cenderung datar. Sistem irigasinya kebanyakan menggunakan pintu air/romijn/rolak/dam (lihat gambar 2). 

Gambar Pintu air/romijn/rolak sebagai irigasi pertanian & perkebunan di dataran rendah. (sumber: Maurits W. Ertsen, Aspect of Irrigation Development in the Netherlands East Indie, 2006)

Bentuk irigasi perkebunan maupun pertanian di Jawa memang didominasi oleh dam. Sistem buka tutup pintu air ini dilakukan untuk irigasi perkebunan dan pertanian di Jawa. Selain itu juga mencegah terjadinya bencana banjir akibat luapan air sungai-sungai besar di Jawa, seperti Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas (Aglemeen Handelsblad, 1917). Kebijakan Cultuurstelsel yang diterapkan oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch pada 1830 menyebabkan restrukturisasi sistem irigasi di Jawa. Pada awalnya petani pribumi menggunakan sistem bendungan saja, namun seringkali terjadi bencana banjir, kelebihan atau kekurangan air pada tanaman mereka. Kemudian pemerintah kolonial datang dengan modernisasinya, yang mana pada tahun 1854 mendrikan Biro Pekerjaan Publik/Umum untuk mengatur permasalahan irigasi (Ertsen, 2006:53). Salah satu proyek yang dibangun pertama kali yaitu Stuwdam Lengkong (sekarang disebut Rolak Songo) 1854, di percabangan Sungai Brantas Kec. Tarik, Kab. Sidoarjo (de Graaf, 1903:94).

Tidak terkecuali di Malang, daerah ini juga menggunakan sistem irigasi yang sama. Namun salah satu kasus di daerah perkebunan tebu Kepanjen menggunakan siphon karena harus mengalirkan air dari satu bukit kebukit selanjutnya (lihat gambar 3). Topografi dataran tinggi dan perbukitan mempunyai tingkat kesulitan tersendiri dalam hal irigasi. Pembangunan talang air, dam dan sungai buatan menjadi pilihan utama pengembang perkebunan tebu pada saat itu.

Situs siphon di Kepanjen

Situs Siphon ini membentang di atas Sungai Metro yang menghubungkan Kepanjen dengan Talangagung. Pemerintah kolonial membangun Siphon pada tahun 1903 untuk membantu irigasi persawahan dan perkebunan tebu di daerah barat (Talangagung, Jatikerto, Slorok, Ngebruk, Sumberpucung, hingga Karangkates) yang pada saat itu sering mengalami kekeringan akibat kekurangan suplai air (situsbudaya.id, 2017).

Pemandian Dewi Sri berada di Jl. Brigjen Abdul Manan Wijaya, Dusun Ngabab, Desa Lebaksari Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang tepatnya di Rest Area Pujon. Dengan titik koordinat garis lintang 70 50’22.96’ S dan garis bujur 1120 27’0. 03’ T. Jarak dari Kota Batu ke Pemandian Dewi Sri sekitar 15 km dengan waktu tempuh sekitar 30 menit dengan menggunakan sepeda motor. Untuk menuju ke sana kita bisa menggunakan sepeda motor, mobil bahkan bus.  Pengunjung yang ingin melakukan wisata di sana dikenakan tarif sebesar Rp. 5.000/orang.  Pemandian Dewi Sri dikelola oleh PT. Jasa Yasa. Pada awalnya, hanya berupa pemandian biasa namun pada saat ini sudah terdapat beberapa fasilitas lain seperti rafting dan outbond dalam satu kawasan dengan pemandian ini.

 Pemandian Dewi Sri merupakan pemandian umum yang sudah ada sejak masa Hindia Belanda. Kolam kecil yang berada di Pemandian Dewi Sri, pada masa Kolonial juga disebut dengan “Wihelmina Bath”. Tidak hanya itu dalam beberapa promosi wisata dalam bentuk buku panduan wisata masa kolonial, (Come To Java) Wihelmina Bath (Pemandian Dewi Sri) merupakan salah satu tempat tujuan wisata. Hal ini tidak terlepas dari sebaran destinasi wisata yang ada di sekitar seperti tjoban Penganten dan Tjoban Rondo (Naar Poedjon En Den Waterval Tjoban-Rondo, 1910: 7).

Selain berbagai mitos tentang khasiat air kolam Dewi Sri, adapun legenda yang dipercayai oleh masyarakat sekitar. Menurut Bapak Shodiq selaku sesepuh Desa Lebak Sari hingga saat ini masyarakat percaya bahwa Dewi Sri merupakan cucu dari Mbah Tun (Sumber mata air yang dialirkan ke kolam-kolam pemandian Dwi Sri dan merupakan punden Desa Lebak Sari). Wujud dari Dewi Sri menyerupai putri duyung, dengan tubuh bagian atasnya berwujud manusia dan pada bagian bawahnya berbentuk seperti ikan. Karena kepercayaan tersebut masih terus dilestarikan, maka ketika ada bersih desa masyarakat sekitar selalu memberikan sesajen dan melakukan kenduri (selamatan) di dekat sumber mata air (yang dipercaya sebagai dayang Desa Lebak Sari). Selain itu terdapat sebuah kepercayaan bahwa Dewi Sri akan muncul dan menggagu para pengunjung yang tidak sopan.

Secara umum pemandian Dewi Sri telah mengalami banyak perubahan. Perubahan yang paling mencolok yaitu berubahnya Hotel Lebaksari menjadi wahana Rafting, yang berada diatas pemandian Dewi Sri. Di samping itu juga penambahan kolam yang awalnya hanya satu menjadi dua kolam. Akan tetapi yang masih asli yaitu kolam renang kecil buat anak-anak dan kamar mandi, Kedua tempat tersebut hanya direnovasi, dengan letak tempat sesuai situs asli. Tempat duduk yang berada di barat kolam mandi kecil juga asli, sesuai tempatnya, akan tetapi hanya mengalami renovasi (Pradipta, 2014:34).

Pemandian Dewi Sri mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai wisata sejarah dengan melihat latar belakang sejarah pemandian ini yang cukup dinamis. Hal yang bisa dilakukan yaitu dengan membuat sebuah poster atau papan informasi tentang perkembangan Pemandian Dewi Sri dari waktu masa ke masa. Pembuatan papan informasi tersebut bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang sejarah pemandian yang dikunjungi. Hal ini tidak terlepas, dari masyarakat sana yang hanya mengetahui bahwasanya mereka tahu kalau dulunya memang bekas pemandian zaman kolonial. Akan tetapi tidak ada bentuk nyata bagaimana bentuk dari pemandian tersebut.

Hotel Lebaksari difoto dari Atas Bukit (Sumber: kitlv.nl)

Kolam Kecil Pada Pemandian Dewi Sri

Hotel Justina merupakan salah satu hotel yang terletak di Jalan Brigjen Abdul Manan Wijaya, Desa Pujon Lor, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Tepatnya pada garis lintang 7°50’45.07” S dan garis bujur 112°28’23.84” T. Jarak tempuh Kota Malang ke lokasi kurang lebih 20 km dengan waktu tempuh kurang lebih 1 jam perjalanan. Sedangkan jika dari Kota Batu sejauh 12 km dengan waktu tempuh kurang lebih 20 Menit. Secara fisik Hotel Huize Justina sudah rata dengan tanah dan digantikan berbagai bangunan baru. Untuk memudahkan mengidentifikasi letak Hotel Huize Justina dulu, jika dari arah Batu Hotel Huize Justina terletak di kiri jalan raya memanjang dari Gereja hingga Puskesmas Pujon saat ini.

 Meskipun bangunan fisik dari Hotel Huize Justina sudah tidak ada, namun pada masa kolonial hotel ini merupakan salah satu ikon dari Poedjon (nama Pujon pada masa Kolonial). Bukan hanya saat ini, lokasi Hotel Huize Justina yang strategis dan berada pada ketinggian 1135 mdpl membuatnya memiliki udara yang sejuk. Berbagai kelebihan inilah yang kemudian secara berkala dipromosikan baik di De Indische Courant maupun Soerabaiasch-Handelsblas dan berbagai surat kabar lain. Setiap iklan yang dimuat dalam surat kabar Hotel Huize Justina dikenakan sekitar f 0.15-1.35. Selain surat kabat Hotel Huize Justina juga dipromosikan dalam berbagai trip advisor seperti Illustrated Guiede To East Java, Gee Java Garden of the East, dan Naar Poedjon En Den Waterval Tjoban-Rondo.

 Selain udaranya yang sejuk dan letaknya yang strategis, dari testimoni pengunjung yang dimuat dalam De Indische Courant edisi 28 October 1927, fasilitas yang lengkap serta pemandangan yang indah merupakan kelebihan dari Hotel Huize Justina. Lebih rinci dikatakan bahwa dari paviliun pengunjung dapat melihat keindahan Gunung Kawi dan jajaran perbukitan lain. Bukan hanya itu Hotel Huize Justina juga terkenal memiliki taman yang indah dan dilengkapi dengan jongging track.

Menurut Bapak Juwair (84 tahun) salah satu warga Pujon yang orang tuanya pernah bekerja di Hotel Huize Justina menuturkan bahwa Hotel Huize Justina memiliki 22 kamar dan beberapa paviliun, seperti paviliun Anna, Corona dan Elina. Hotel ini juga mampu menampung 24 mobil.  Beberapa anak dari pekerja hotel dapat ikut serta bekerja sebagai pekerja paruh waktu di hotel tersebut. Mereka bertugas menjadi pelayan di lapangan tenis untuk memungut bola. Sebagai imbalan anak-anak ini mendapat roti sisa, kulit roti dan uang receh. Adapun jika ingin menginap di Hotel Huize Justina pengunjung dikenakan tarik kurang lebih f 3.50 untuk keluarga dan ada beberapa promosi menarik biasanya berupa potongan harga di hari natal (Soerabaiasch-Handelsblas edisi Vrijdaj 20 Des 1930).

Seiring berjalannya waktu, ketika terjadi pergantian kekuasaan dari pemerintah Kolonial Belanda ke Kolonial Jepang. Hotel-hotel yang berada di Pujon mulai diambil alih oleh Jepang. Pasca kemerdekaan, Hotel Huize Justina dijadikan markas BKR dibawa pimpin Sutomo. Selain itu tempat ini juga dijadikan tempat dikumpulkannya tentara Jepang sebelum ditarik ke Malang. Menurut catatan Bapak Kalam Tirtoraharjo beberapa bangunan tinggalan kolonial Belanda banyak yang dihancurkan ketika Agresi Militer II salah satunya bangunan yang hancur yaitu Hotel Huize Justina. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari strategi perang tentara Republik agar bangunan-bangunan tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh Belanda kembali. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa hotel sebesar Justina saat ini sudah tidak ada. Lokasi yang dulunya merupakan bagian dari hotel ini telah beralih fungsi menjadi milik perorangan dan dijadikan toko juga pemukiman penduduk.

Gambar Ruang makan Hotel Huize Justina Tahun 1929 (Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/769008)