Teori Sosial Humanoira

Herbert Spencer

Religi muncul sebagai akibat kesadaran dan ketakutan manusia terhadap kematian. Oleh karena itu, manusia mula-mula memuliakan dan menyembah roh-roh nenek moyang yang telah meninggal. Kemudian bentuk awal religi tersebut berevolusi ke dalam bentuk yang lebih kompleks dan berdiferensiasi, yakni pemujuaan kepada dewa-dewa, seperti dewa kebijaksanaan, dewi kecantikan, dewa perang, dsb. Namun dalam kasus masyarakat tertentu, mengalami suatu tahapan penyembahan terhadap roh-roh hewan tertentu. Spirit hewan-hewan tertentu dimuliakan sebagai representasi dari sifat-sifat yang dicita-citakan atau ditakuti oleh manusia, misalnya elang menjadi lambang kejayaan, gajah lekat dengan kebijaksanaan, sementara singa adalah perwujudan peperangan, dsb

Pada mulanya dalam masyarakat yang berbentuk sekelompok individu dengan jumlah 10-20 orang, hukum yang berlaku adalah hukum keramat atau hukum adat. Hukum tersebut terbentuk berdasarkan ketakutan kepada amarah roh nenek moyang apabila melanggar peraturan. Namun secara sosiologis, ketaatan ini muncul sebagai akibat kesadaran akan asas timbal balik dan saling ketergantungan dalam kelompok. Sehingga menjaga individu untuk tidak berbuat jahat kepada sesamanya. Kemudian, bersamaan dengan perkembangan masyarakat yang lebih kompleks, hukum yang dianut adalah hukum sekuler yang masih berdasarkan asas timbal balik dan saling membutuhkan dalam masyarakat. Pada tahap ini, seiring dengan makin besarnya jumlah anggota masyarakat, diperlukan institusi otoritatif penegak hukum, misalnya kekuasaan raja. Masyarakat kemudian berkembang menjadi lebih religius, sehingga otoritas raja saja tidak cukup. Oleh karena itu, ditanamkan paham kepada setiap warga negara bahwa raja merupakan titisan Dewa atau ditunjuk secara langsung oleh Tuhan. Hukum yang ditegakkan oleh kekuasaan raja pun menjadi hukum keramat. Dalam perkembangan berikutnya, masyarakat industrialis, kekuasaan raja dan keyakinan agama mulai menurun. Bentuk hukum yang baru pun muncul, kembali kepada kesadaran asas timbal balik dan saling ketergantungan antaranggota masyarakat. Prosedur pembentukan hukum ini diwakilkan kepada badan-badan legislatif yang dibentuk negara

J. J. Bachofen

Bachofen dalam teorinya ini menjelaskan bahwa bentuk keluarga manusia berkembang melalui empat tahapan. Tahap pertama adalah promiskuitas, yang terjadi ketika manusia hidup berkelompok. Promiskuitas tidak membatasi hubungan dalam ikatan, laki-laki dan perempuan bebas bereproduksi dan konsep keluarga inti belum dikenal. Tahap kedua, matriarki, hubungan antara ibu dan anak-anaknya sangat kuat karena anak tidak pernah mengenal ayahnya. Perkawinan antara ibu dengan anak lelakinya dihindari sehingga timbul exogami. Ibu berperan sebagai kepala keluarga dan garis keturanan dipertimbangan dari garis keturunan ibu. Kemudian, didorong oleh ketidakpuasan kaum pria, timbul sebuah bentuk keluarga baru yang disebut patriarki. Tahap ketiga ini, diawali dengan para lelaki yang mengawini para gadis dan memasukkannya dalam kelompoknya, demikian pula dengan keturunannya. Sehingga, garis keluarga mulai diperhitungkan dari garis ayah. Serta ayah mulai mengambil peran sebagai kepala keluarga. Tahapan yang terakhir adalah endogami. Tahapan ini adalah perkawinan dengan batasan kelompok sehingga membuat anak dekat dengan dua keluarga baik dari sisi ayah maupun ibu. Dengan demikian, sistem kekerabatan patriarki lambat laun hilang, dan berubah menjadi suatu sistem kekerabatan yang disebut susunan parental

W. Robertson Smith

Terdapat tiga gagasan yang disampaikan W. Robertson Smith mengenai upacara bersaji dalam sistem religi. Pertama, dalam banyak agama ritus upacara berjalan tetap namun latar belakang, keyakinan, dan maksud atau doktrinnya berubah. Kedua, dalam upacara yang melibatkan banyak penganut secara berasama-sama memiliki fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaratas masyarakat. Jadi, selain kewajiban keagamaan, banyak penganut yang memandang melaksanakan ritus sebagai sebuah kewajiban sosial. Ketiga, fungsi berupacara juga merupakan upaya meningkatkan solidaritas dengan entitas supranatural yang dipuja. Dalam hal ini entitas supranatural juga dipandang sebagai bagian dari warga komunitas, meskipun berstatus jauh istimewa. Hal ini menjelaskan mengapa di banyak upacara sesaji tidak hanya khidmat dan keramat namun juga meriah dan bergembira

Charles Sanders Pearce

Menurut Pearce, untuk dapat memaknai tanda diperlukan tiga tahapan semiosis (pemaknaan tanda). Tahap pertama: penyerapan representaman (R) atau ‘wujud luar’ tanda yang dapat diindra secara langsung oleh manusia. Peirce menyatakan bahwa representaman dapat berupa kata-kata, gestur, benda-benda, dan gambar yang merujuk atau menandakan suatu objek (O). Tahap kedua: perujukan representamen terhadap objek yang bersifat spontan oleh pemakai tanda dengan menerapkan konsep yang telah ia kenali dan tertanam dalam kognisinya. Objek dapat berupa peristiwa dan ide/konsep. Tahap ketiga: interpretan (I), penafsiran lebih lanjut oleh pemakai tanda setelah representamen dikaitkan dengan objek. Makna sebuah tanda muncul dalam suatu proses penafsiran dimana sangat tergantung pada proses mental penafsir. Lebih lanjut, interpretasi mental ini mencakup emosi, gagasan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh tanda itu bagi seseorang pada saat itu.

Hans-Georg Gadamer

Gadamer berpendirian bahwa pemahaman hermeunitis terhadap masa silam terikat dan bertaut dengan individualitas peneliti. Memahami teks tidak hanya berurusan pada cakrawala (horizon) pelaku sejarah atau penulis teks melainkan juga dengan cakrawala peneliti atau penafsir teks. Cakrawala yang dimiliki orang di masa sekarang mustahil terbentuk tanpa adanya cakrawala yang dimiliki oleh orang-orang di masa lalu. Gadamer menyatakan bahwa cakrawala yang ada di masa sekarang merupakan hasil akumulasi dari cakrawala di masa lalu. Tugas peneliti atau penafsir teks adalah meleburkan cakrawala yang dimilikinya di masa sekarang dengan cakrawala pengarang teks/pelaku sejarah. Oleh karena itu, usaha dalam memahami teks/peristiwa sejarah hendaknya didasarkan kepada pengalaman, praduga, dan tradisi-tradisi yang umum diterima, dan yang mampu mewujudkan identitasnya sendiri. Teks lebih merupakan suatu konsentrasi atau ikatan arus sosio-historis, bukan suatu yang baru yang diciptakan oleh pengarang atau yang dimengertinya sendiri secara tuntas

Claude Levi Strauss

Strauss mengklaim bahwa mitologi memiliki kemiripan dengan  bahasa. Klaim Strauss ini didasari bahwa mitologi juga memiliki struktur-struktur yang mengikat. Dengan demikian mitologi pun dapat diselidiki dalam kerangka struktural layaknya bahasa. Strauss kemudian membicarakan unsur-unsur yang khas dalam mitologi. Terdapat dua yang terpenting. Pertama, hubungannya dengan ségi rasional dari mitos yang digunakan untuk menerangkan suatu yang sulit bagi pemikiran, yaitu menghilangkan skandal dari hal-hal yang terelakkan, misalnya tak dapat dihindarinya kematian. Unsur kedua berkaitan dengan sifat emosional dari mitologi. Strauss mengungkapkan bahwa mitologi memiliki kemampuan yang mirip dengan musik. Mitos juga mampu membuat manusia terharu dengan cara yang tidak dapat dirumuskan secara tepat. Musik dan mitos mengkonfrontasikan manusia dengan kenyataan yang tidak dapat diungkapkan dalam perkataan, yang merupakan pembayangan dari kebenaran yang tidak disadari dan yang tidak dapat diungkapkan dengan cara lain. Strauss kemudian mengungkapkan sifat sebenarnya dari mitologi yaitu menerangkan tatanan kehidupan sehari-hari dalam suatu kebudayaan melalui tatanan yang lain yang hanya dapat dinyatakan dalam kemustahilan. Mitos sebenarnya tidak untuk menjelaskan suatu kesulitan keberadaan intelektual, suatu permasalahan status keberadaan yang pokok dan riil, tetapi menerangkan bagaimana dan apakah dunia itu bagi subyek tersebut

Plato

Plato menyatakan bahwa setiap karya sastra adalah hasil mimesis atau peniruan dari kehidupan nyata. Plato menekankan bahwa karya terikat pada ide pengarang dan ide pengarang itu merupakan jelmaan dari alam. Sehingga ide itu tidak bisa mengahasilkan tiruan yang persis sama. Tataran yang bisa dihasilkan dari proses peniruan ini hanyalah angan-angan sehingga kedudukan karya sastra berada di bawah kenyataan. Hal ini tercermin dari proses penciptaan karya sastra menururut Plato. Mula-mula Pengarang memiliki ketertarikan dengan objek-objek kehidupan nyata kemudian mengamatinya. Hasil pengamatan itu kemudian dituangkan dalam sebuah karya. Dunia nyata adalah ilham bagi pengarang untuk menciptakan tiruan yang ditulis dalam karyanya. Sedangkan karya sastra merupakan buah tiruan pengarang terhadap objek-objek atau fenomena di dunia nyata.

Michael B. Schiffer, J. Jefferson Reid, dan William L. Rathje

Arkeologi perilaku adalah teori arkeologi yang memperluas sifat dan tujuan arkeologi dalam kaitannya dengan perilaku manusia dan budaya material. Teori arkeologi perilaku menguraikan empat strategi di mana perilaku manusia dan budaya material dapat diperiksa untuk menjawab pertanyaan yang terkait dengan penyelidikan arkeologi.

Strategi pertama menekankan bagaimana budaya material dari kelompok budaya dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan tentang perilaku masa lalu. Misalnya, ketika mempelajari perubahan teknologi masyarakat masa lalu, kesimpulan mengenai perubahan pola makan individu dapat dibuat.

Strategi kedua melihat bagaimana menyajikan budaya material dapat memberikan informasi kepada para arkeolog mengenai perilaku manusia di masa lalu.

Strategi ketiga berkaitan dengan mempelajari budaya material masa lalu untuk menjawab pertanyaan tentang perilaku manusia saat ini. Pertanyaan termasuk bagaimana manusia beradaptasi dengan perubahan populasi, seperti fasilitas penyimpanan dan organisasi masyarakat. Masa lalu sering terlihat terpisah dari masa kini, namun Michael Schiffer menantangnya dengan memeriksa perilaku dan budaya material masyarakat masa lalu.

Strategi keempat mengkaji budaya material masa kini untuk mengkaji perilaku manusia kontemporer. Strategi ini berusaha untuk mengajukan pertanyaan spesifik tentang masyarakat yang sedang berlangsung seperti konsumsi barang oleh kelompok orang tertentu. Strategi ini berguna karena dengan mempelajari budaya material saat ini, para arkeolog juga dapat melihat perilaku manusia di masa depan.

Stuart Hall

Menurut Stuart Hall, representasi adalah proses produksi dan perturakan makna antara masyarakat dan kebudayaan, dan media yang hampir sering digunakan dalam hal ini adalah bahasa. Dalam proses ini, bahasa sebagai media memiliki peran signifikan dalam pembentukan makna yang spesifik hingga menjadi representasi. Bagaimanapun, bahasa tidak dapat berdiri sendiri untuk mencapai titik tersebut karena bahasa harus terlibat dengan masyarakat dan budaya sebagai pendukung. Dalam kasus ini, masyarakat dan kebudayaan memiliki konteks ideologi yang subyektif dan tanpa pengukuran absolut terhadapnya. Konteks ideologi yang dimaksud sangat tergantung pada keadaan dan lingkungan dimana masyarakat dan kebudayaan hidup. Kemudian bahasa harus beradaptasi untuk meraik makna spesifik dan representasi. Hall menyebut representasi salah satu praktik dan penciptaan budaya yang penting.

Julian H. Steward

Teori ini menekankan bahwa lingkungan dan budaya tidak dapat ditinjau secara terpisah, melainkan merupakan hasil produk campuran (mixed product) yang terbentuk melalui proses dialektik. Ringkasnya, hubungan antara lingkungan dan kebudayaan adalah timbal-balik. Lingkungan dan kebudayaan bukan merupakan produk statis yang tiba-tiba ada dan mampu berdiri sendiri-sendiri. Keduanya memiliki peran yang sama signifikannya dalam hal saling mempengaruhi satu sama lain. Tidak dapat dihindarkan, bahwa lingkungan memiliki pengaruh besar terhadap kebudayaan (seperti dalam teori determinisme lingkungan), namun manusia juga memiliki andil dalam perubahan lingungan (dalam teori posibilisme)

Teori Ilmu Sosial

Immanuel Wallerstein

Teori sistem dunia memandang bahwa dunia merupakan sebuah sistem yang sangat kuat mencakup seluruh dunia, yaitu kapitalisme. Teori ini adalah perspektif sosiologi makro yang berusaha menjelaskan dinamika ‘ekonomi dunia kapitalis’ sebagai sistem yang bersifat total. Teori ini menghasilkan kerangka kerja yang berusaha memahami perubahan sejarah dalam kebangkitan dunia modern. Hasilnya, Wallerstein membagi sejarah dunia kapitalis menjadi empat tahap. Tahap 1 dan 2 berlangsung pada 1450-1670, ditandai dengan birokrasi di tangan monarki dan kepentingan ekonomi difokuskan pada keuntungan borjuis lokal. Berikutnya tahap 3 dan 4, dimulai pada abad ke-18 hingga seterusnya, ketika bangsa-bangsa Eropa memulai berkompetisi untuk mengeksplorasi pasar baru di seberang samudera dan peralihan fokus ekonomi dari pertanian ke industri manufaktur masif

Antonio Gramsci

Pengertian hegemoni menurut konsep Gramsci merujuk pada kedudukan ideologis satu atau lebih kelompok/kelas yang memandang dirinya lebih tinggi dari kelompok/kelas lain di dalam masyarakat sipil.  Hegemoni menurut Gramsci bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan dan ideologis. Terdapat dua cara dalam meraih supremasi kelompok atas kelas lain yakni penindasan dan kepemimpinan moral dan intelektual. Cara yang kedua tersebut merupakan hegemoni. Dalam posisi tadi kelas subordinat secara tidak sadar tunduk terhadap kelas dominan. Gramsci melihat kegagalan revolusi sosial sebagai akibat dari kelas penguasa memaksakan visi hegemoni mereka melalui berbagai institusi suprastruktur, misalnya sekolah, media, agama, bahkan kehidupan sehari-hari.

Erving Goffman

Teori Dramaturgi menjelaskan bahwa interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan drama di atas panggung. Manusia adalah aktor yang berusaha menghubungkan karakter personal dan tujuan kepada orang lain melalui ‘pertunjukan dramanya sendiri’. Dalam mencapai tujuan tersebut, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya. Dalam konteks ini, identitas manusia adalah tidak stabil dan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi mandiri. Identitas manusia kerap kali berubah tergantung interaksinya dengan orang lain. Dalam perspektif ini, Goffman membagi kehidupan sosial menjadi dua, yaitu: wilayah depan (front region) dan wilayah belakang (back region). Wilayah depan adalah merujuk pada peristiwa sosial yang menampilkan individu sedang melaksanakan peran formalnya. Sedangkan wilayah belakang adalah peristiwa sosial dimana menunjukkan individu sedang bersiap melaksanakan perannya di wilayah depan. Bagai pertunjukan teater, wilayah depan adalah panggung yang terbuka ditonton khalayak ramai sedangkan wilayah belakang adalah belakang panggung tempat si aktor merias diri, membaca naskah, dan bersantai.

George Homans

Homans menggambarkan realitas sosial bahwa manusia pada tingkat interaksi individu adalah makhluk pencari keuntungan. Teori ini berawal dari asumsi ‘do ut des’, saya memberi supaya engkau memberi. Teori ini mengandaikan interaksi dua orang atau lebih. Diantara mereka terjadi kontak yang saling berkomitmen untuk memberikan sesuatu satu sama lain. Asumsi lain adalah perilaku sosial adalah bentuk pertukaran aktivitas, nyata atau tidak nyata, dan kurang lebih sebagai pertukaran hadiah atau biaya oleh sekurang-kurangnya dua orang. Teori ini menggarisbawahi bahwa perilaku sosial seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses mentalistik.

Adam Smith

Teori ekonomi Adam Smith adalah gagasan bahwa pasar cenderung bekerja paling baik tanpa ada campur tangan pemerintah. Pandangan Smith ini dimulai dengan asumsi bahwa orang-orang yang berpikir rasional (tepatnya orang-orang yang bertindak untuk kepentingannya sendiri) secara alami akan menemukan cara terbaik untuk menggunakan sumber daya negara. Dalam pandangan ini intervensi pemerintah justru berpotensi merugikan perekonomian. Teori ini berkembang sebagai perlawanan terhadap sistem ekonomi merkantilisme yang sangat protektif pada abad ke-18. Ekonomi merkantilis memandang standar kekayaan negara ditentukan oleh jumlah emas yang dimiliki. Sehingga, perdagangan internasional dilarang karena impor menyebabkan berkurangnya jumlah emas. Dalam bukunya, The Wealth of Nations, Smith menunjukkan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya logam mulia yang ada di brankasnya. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa kekayaan ada dalam nilai yang diciptakan oleh masyarakat komersial melalui produksi dan perdagangan. Gagasan Smith bertahan hingga saat ini, membentuk dasar bagaimana sebagian besar negara menentukan kekayaan mereka. Caranya dengan menentukan nilai pasar produk yang dibuat di dalam cakupan dalam negeri (alias produk domestik bruto), atau oleh warga negara meskipun di luar negeri (alias produk nasional bruto).

Karl Marx

Menurut Marx, perubahan sosial terjadi sebagai kelanjutan dari perjuangan kelas. Benih-benih perjuangan kelas yang menghasilkan perubahan terdapat dalam infrastruktur ekonomi masyarakat. Dengan munculnya kepemilikan pribadi atas kekuatan produksi, kontradiksi mendasar atau perbedaan kelas diciptakan. Dengan kata lain, kekuatan-kekuatan produksi menimbulkan hubungan-hubungan produksi tertentu. Melalui kepemilikannya atas kekuatan produksi, minoritas mampu mengendalikan komando dan menikmati hasil kerja mayoritas. Kelompok dominan ini juga menentukan suprastruktur sesuai dengan kepentingan kelompok. Hukum, sastra, filsafat, dll semua diciptakan sesuai. Dengan kata lain, dampak atau pengaruh kelompok dominan terlihat di semua bidang kehidupan sosial. Pertentangan hebat akan muncul apabila kelompok dominan baru akibat kekuatan produksi yang berubah. Kelompok dominan baru ini akan melawan kelompok dominan lama yang telah mapan menikmati previlese untuk memegang komando atas mayoritas. Masyarakat secara keseluruhan akan mengalami perubahan.

W. W. Rostow

Model pertumbuhan ekonomi menurut Rostow ini menjelaskan bahwa semua negara ada berada pada spektrum linier, dan naik ke atas melalui setiap tahap dalam lima tahap pembangunan, yaitu (1) “masyarakat tradisional” (pertanian subsisten, tidak ada tabungan atau investasi), (2) “prasyarat untuk tinggal landas” (pertanian menjadi mekanis, surplus muncul, tabungan mulai tumbuh menjadi sekitar 5% dari PDB), (3) “lepas landas” (manufaktur tumbuh, lembaga politik berkembang, tingkat tabungan meningkat menjadi 10 hingga 15% dari PDB); (4) ” tahap kedewasaan” (tabungan stabil pada 10-20%, pertumbuhan menyebar ke sektor lain, peningkatan teknologi, peningkatan keragaman produksi), (5) “tahap konsumsi massal” (output didorong oleh konsumsi, awal pergeseran ke sektor tersier). Rostow membayangkan panjangnya bisa memakan waktu empat puluh hingga enam puluh tahun dari lepas landas hingga tahap kedewasan. Model tahapan ini didasarkan pada pendekatan pembangunan yang didasarkan pada asumsi bahwa “modernisasi” ditandai oleh dunia Barat (negara-negara yang lebih kaya dan lebih kuat pada saat itu), yang mampu maju dari tahap awal keterbelakangan. Dengan demikian, negara-negara lain harus mencontoh Barat, bercita-cita menjadi negara kapitalisme dan demokrasi liberal yang “modern”.

Harold Lasswell

Lasswell setuju dengan definisi Propaganda sebagai ekspresi pendapat atau tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh individu atau kelompok dengan maksud untuk mempengaruhi pendapat atau tindakan individu atau kelompok lain untuk tujuan yang telah ditentukan sebelumnya melalui manipulasi psikologis. Kekuatan propaganda bukanlah hasil dari substansi atau daya tarik pesan-pesan tertentu, melainkan hasil dari keadaan pikiran orang kebanyakan yang rentan. Lasswell berpendapat bahwa depresi ekonomi dan konflik politik yang meningkat telah menyebabkan psikosis yang meluas, dan ini membuat kebanyakan orang rentan terhadap bentuk propaganda yang kasar sekalipun. Ketika rata-rata orang setiap hari dihadapkan pada ancaman kuat terhadap kehidupan pribadi mereka, mereka beralih ke propaganda untuk kepastian dan cara untuk mengatasi ancaman. Strategi propaganda, yang telah diutarakan dalam istilah budaya, dapat dengan mudah digambarkan dalam stimulus-respons bahasa. Propaganda dapat dikatakan peduli dengan penggandaan rangsangan yang paling baik dihitung untuk membangkitkan tanggapan yang diinginkan, dan dengan penghapusan rangsangan yang mungkin memicu tanggapan yang tidak diinginkan.

Johan Galtung

Segitiga konflik yang dikembangkan oleh Johan Galtung juga dikenal dengan sebutan segitiga ABC, terdapat tiga aspek: sikap (A) aktor yang terlibat, perilaku mereka (B), dan kontradiksi (C). Ketiga aspek tersebut saling terkait dan salah satunya dapat menjadi titik awal berkembangnya suatu konflik. Ketidakcocokan dalam tujuan (C), misalnya atas suatu wilayah, dapat menyebabkan sikap bermusuhan (A), kemudian muncul lah perilaku yang menunjukkan permusuhan itu (B). Hal ini juga terjadi bahwa perilaku bermusuhan (B) dapat menyebabkan sikap bermusuhan (A) kemudian menciptakan ketidaksesuaian tujuan (C). demikian seterunya. Analisis menggunakan teori ini dapat mulai menggunakan salah satu aspek sebagai titik awal, ada potensi bagi analis untuk mengidentifikasi apa yang mendorong konflik dan bagaimana konflik dapat dikurangi. Model ini juga sangat mudah beradaptasi karena mendorong analis untuk mempertimbangkan secara tepat apa itu sikap (A), perilaku (B), dan kontradiksi (C), sehingga mendorong penerapan pengetahuan ahli.

Barry Buzan dan Ole Wæver

Teori yang dicetuskan oleh Barry Buzan dan Ole Waever ini mengidentifikasi kompleks keamanan regional sebagai sekelompok negara yang masalah keamanan nasionalnya saling terkait erat sehingga tidak dapat ditangani secara independen satu sama lain. Teori ini memandang ketergantungan keamanan sebagai faktor penting dalam penciptaan cluster berbasis regional. Teori ini menyediakan kerangka kerja untuk analisis dan perbandingan keamanan regional di berbagai wilayah. Mereka dibedakan satu sama lain melalui tingkat interaksi. Tingkat interaksi antar anggota regional yang sama menunjukkan intensitas tinggi, sedangkan antar anggota regional yang berbeda relatif rendah. Sesuai dengan namanya, kompleks keamanan regional pada dasarnya bersifat geografis, terdiri dari aktor-aktor tetangga dan terisolasi satu sama lain oleh penghalang alami seperti lautan, gurun, dan pegunungan. Ini berarti bahwa masalah keamanan aktor terutama dihasilkan di lingkungan terdekat mereka. Keamanan setiap aktor di suatu wilayah berinteraksi dengan keamanan aktor lainnya. Sebagian besar masalah keamanan tidak berjalan jauh, dan oleh karena itu ancaman dalam lingkungan terdekat aktor kemungkinan besar dirasakan paling kuat.

Max Weber

Max Weber mendefinisikan birokrasi sebagai organisasi yang sangat terstruktur, formal, dan juga impersonal. Dia percaya birokrasi adalah cara paling efisien untuk mendirikan sebuah organisasi. Max Weber percaya bahwa Birokrasi lebih baik daripada struktur tradisional. Dalam organisasi birokrasi, setiap orang diperlakukan sama dan pembagian kerja dijelaskan dengan jelas untuk setiap karyawan. Dia juga percaya bahwa sebuah organisasi harus memiliki struktur hierarki yang jelas, regulasi, dan garis wewenang yang jelas yang mengaturnya. Birokrasi Max Weber idealnya memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) spesialisasi tenaga kerja, (2) seperangkat aturan dan regulasi formal, (3) hirarki yang terdefinisi dengan baik dalam organisasi, (4) impersonalitas dan profesionalitas dalam penerapan aturan. Menurut teori birokrasi Max Weber, tiga jenis kekuasaan dapat ditemukan dalam organisasi; kekuasaan tradisional, kekuasaan karismatik dan kekuasaan hukum. Dalam organisasi birokrasi, kekuasaan idealnya bergantung pada kekuasaan hukum.